Saturday, September 29, 2007

Sebuah Travelogue: Afrika, Kunjani....



Oleh
Dwi R. Muhtaman

Perjalanan ke Afrika bagi sedikit orang seperti sebuah napak tilas sejarah. Kita serta merta melewati kembali jejak tiga empat abad yang lalu, abad ke-17. Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata/Kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu/Syeh Yusuf telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri/untukmu….Ada ceceran darah, bertabur, kering, dan basah. Begitulah lukisan Taufiq Ismail tentang Afrika Selatan.

Ketika itulah deru angin barat menghantam tujuh layar kapal-kapal Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC yang sombong, yang ludahnya ada di mana-mana. Di kapal itulah berderet peti-peti tulang belulang para pemberani—Ditakuti ketika memimpin pertempuran/.. /Ditakuti ketika sudah jadi tulang-belulang/.. Ya, Syeh Yusuf turun di benua selatan itu yang datang dari nusantara melewati 10 ribu kilometer melintasi dua samudra. Itulah pertautan berabad-abad lampau antara kita dan Afrika Selatan, saudara sependeritaan. Bahkan di Afrika Selatan pertautan kita sebagai manusia berujung jauh jutaan tahun yang lalu. Di situlah, tepatnya di Propinsi Gauteng, di hamparan bergelombang yang membentang seluas 47.000 hektar, terdapat sisa-sisa arkeologi yang menunjukkan perkembangan paling awal nenek dan kakek moyang keluarga manusia. Situs the Cradle of Humankind (asal manusia) yang kemudian dideklarasikan oleh UNESCO sebagai the World Heritage Site pada 1999. “We are all Africans under the skin,” kata anthropolog Christopher Stringer.

Stringer mempunyai alasan yang kuat mengapa ia memulai menulis bukunya the Evolution of Racism dari Afrika. Demikian juga PBB yang menggelar Konferensi Anti-Rasisme beberapa bulan yang lalu di Durban, Afrika Selatan. Perjalanan ke Afrika seperti membaca sejarah yang muram anak semua bangsa ketika warna kulit menjadi batas antara kesejahteraan dan penderitaan, antara menjadi manusia dan lainnya. Dan sampai pada penderitaan yang memuncak. Dan meledak. Barangkali itulah sebabnya Malcolm X bertanya-tanya kenapa sebutan “hitam” selalu dikonotasikan dengan “keburukan.” Sebutlah sesuatu apapun lalu sandingkan dengan hitam, maka ia bermakna “buruk.” Malcolm X dengan gagah berani menolak penyesatan hitam itu. Demikian juga dengan Nelson Mandela yang berjuang gigih untuk membebaskan negeri dan rakyatnya dari cengkeraman penjahat kemanusiaan. Dan ia berhasil. Kita seperti menemukan kembali berlian kasar dari dalam lumpur. Meski masih perlu jalan yang panjang untuk menggosok berlian itu untuk bisa dinikmati. Jalan sudah dibuka.

Dalam hujaman sejarah seperti itulah warga dunia mengunjungi Rio de Janeiro dari Johannesburg—dan berharap menemukan kemilau berlian bagi dunia yang lebih baik. Dan kita tahu, baru saja puluhan ribu orang berkerumun di Johannesburg yang membentang, Afrika Selatan. Mereka katanya mencoba meneguhkan komitmen Rio sepuluh tahun yg lalu dalam sebuah politik yang rumit yang disebut sebagai the World Summit on Sustainable Development (WSSD). WSSD kali ini melibatkan tujuh tematik pleno partnership, pernyataan-pernyataan dari kalangan non-pemerintah, sambutan para kepala negara dan pemerintahan dan pejabat senior, empat diskusi meja bundar tingkat tinggi tentang tema “Making It Happen,” dan event-event multistakehodlers.

Dengan berbagai dinamikanya—termasuk puluhan ribu warga madani yang mengadakan demonstrasi solidaritas, dan tindakan kasar para serdadu lokal, WSSD menegosiasikan dan mengadopsi dua dokumen penting: the Plan of Implementation (PoI) dan the Johannesburg Declaration on Sustainable Development. Dunia—tepatnya para elit pemerintahan—gagal menyepakati beberapa isu penting, dan itu sungguh menjengkelkan. Isu yang penuh dengan ketidaksepakatan misalnya berkaitan dengan target waktu untuk isu sanitasi, enerji yang terbarukan, subsidi enerji, kimia dan kesehatan, degradasi sumberdaya alam, hilangnya keanekaragaman hayati dan stok ikan; Prinsip ke-7 Rio (common but differentiated responsibility) dan ke-15 (precautionary approach); governance; perdagangan, keuangan dan globalisasi; Protokol Kyoto; dan kesehatan dan hak asasi manusia.

PoI ini didesain sebagai kerangkakerja aksi untuk melaksanakan komitmen-komitmen yang telah disetujui pada UN Conference on Environment and Development (UNCED) yang dideklarasikan pada 1992 di Rio de Janeiro dengan suka cita dan mimpi yang panjang. Sementara itu Deklarasi Johannesburg menggambarkan dari perjalanan Rio ke WSSD, menyoroti tantangan-tantangan saat ini, mengekspresikan komitmen untuk pembangunan yang lestari, dan mencatat pentingnya multilateralism dan menekankan kebutuhan untuk melaksanakan itu semua. Selebihnya, kita menyaksikan sebuah pesta yang usai tapi belumlah selesai, dan aku dengar Salif Keita menyanyikan lagu Afrika dengan beat Afrika yang lincah dan penuh improvisasi, gembira. Ia menghentakku: besok masih ada sorot matahari yang baru, angin savana yang lebih segar dan hyena lebih kencang berlari….menyongsong masa depan dari segala penjuru, dari segala kemungkinan.

Saya hanya sebuah butir pasir dalam kerumunan memasir itu. Dalam sebuah Kota Sandton yang rapi, mewah, sedikit sombong dalam kitaran pemukiman kumuh kaum hitam peninggalan Aparteid yang tak terlupakan, pesta Joburg itu di mulai--dan diakhiri dengan kegamangan: Beginikah kita melangkah? Meninggalkan bumi macam apakah kita pada generasi nanti?

Rombongan "sirkus" yang menyertai para delegasi pemerintahan (termasuk rombongan sirkusnya Megawati yang mencapai sekitar 100an orang) tengah bersiap menampilkan pertunjukkannya yang terbaik. Semua kata-kata disusun begitu rapi seperti seorang arsitektur membangun Istana Pasir. Sempurna. Cantik. Indah. Tapi sebetulnya sangat rentan terjangan bibir-bibir ombak. Para pemimpin yg berbicara di konvensi itu semua berkomitmen dan memprihatinkan bumi yang cuma satu ini. Tapi ya itulah. Kelakuan tetap saja tidak berubah.

Presiden Megawati berbicara soal pengentasan kemiskinan, sementara kemiskinan di negeri sendiri tidak diselesaikan dengan baik. Ia berbicara soal keperintahan yang baik (good governance) sementara di negerinya sendiri korupsi tidak mampu diatasi. Ia berpidato soal pelestarian lingkungan, sementara di negerinya sendiri ia tidak mampu menyelesaikan persoalan lingkungan. Dan ia mungkin tidak sendirian. Merekalah yang menjadi elite bumi, yang mengaku akan menyelamatkan bumi. Sementara puluhan ribu dan jutaan lain yang tidak menjadi bagian pesta sepuluhan tahun itu, mengerang. Sakit, tercampakkan. Menanti daun terakhir jatuh. Memandang hampa tetes air terakhir tersangkut di ozon yang menganga.

Coba saja bayangkan. Sejak tahun 1992, itu sejak hari Bumi di Rio De Janeiro, bumi kehilangan 160 juta hektar hutan global. Itu berarti setiap tahun kita kehilangan 16 juta ha global. Indonesia sendiri kehilangan 1.6 setiap tahun. Itulah para pemimpin kita, dan mungkin juga kita sendiri... Dan itu terjadi setelah para pemimpin ramai-ramai menandatangani berbagai komitmen penyelamatan bumi. Termasuk juga setelah makin banyak LSM yang berteriak dan menjadi besar.

Apakah yang tersisa? Ya, masyarakat sipil senantiasa bertarung: kita, rakyat, harus membuat sesuatu yang merubah banyak hal menjadi berbeda dan lebih baik. Namun sayangnya, kalangan masyarakat sipil terjebak pada taktik yang sama ketika ada lingkungan-lingkungan yang berubah. Atau dalam bahasa Andrew Goldstein (Time Edisi September 2, 2002) “kelompok lingkungan nampak tengah memerangi medan perang yang salah.” Ia mengkritik bahwa kelompok lingkungan kadang cenderung menghancurkan kelompok yang berpotensi untuk berinovasi dalam menciptakan produk ramah lingkungan—kalangan swasta. Alih-alih memberi rewards pada swasta yang berniat baik, mereka malah memberi disinsentif. Ini tantangan yang serius. Komunitas masyarakat sipil, termasuk LSM, nampak kehilangan daya inovasinya dalam taktik dan strategi. They seem to be fighting a losing battle.

Apa arti Afrika bagi kita selain peristiwa WSSD yang baru saja sudah. Pelajaran terbaik yang masih saya kagumi dari Afrika Selatan adalah tutur kata dari seorang gadis manis, zulu: Thami Nomathamsanga Khumalo. Ia duduk di sampingku di atas bis bertingkat yang berangkat dari Ubuntu Village, tempat satu konvensi/pameran. Kami menuju ke tempat konvensi lainnya, sekitar satu jam perjalanan bis. Diantara berbagai dialog, satu hal yang aku tanya: "Apa pandanganmu terhadap berakhirnya pemerintahan apartheid?" Ia dengan tegas dan berapi-api menjawab:"Kami tahu jaman itu amat menyakitkan bagi kami. Paman dan keluarga-keluargaku, kawan keluargaku dan tetangga keluargaku banyak yang mati dan amat menderita karena itu.”

Bis yang kami tumpangi terus melaju melewati the real downtown Joburg yang bergemuruh. Toko-toko sepanjang jalan dengan teralis besi seperti penjara. Ada aroma yang mencemaskan. Ia sangat kontras dengan Sandton. Barangkali memang masih dibutuhkan beberapa dekade untuk menghilangkan teralis: teralis fisik, sosial, dan psikologis. Thami terus melanjutkan, “Tapi kami tahu itu adalah masa lalu, sebuah sejarah yang tidak mungkin lagi dihadirkan dan dilalui lagi. Kami ingin hidup dengan normal, hidup penuh kedamaian, dengan siapapun. Kami tidak mau penderitaan kami berulang dengan mengusir orang-orang putih, atau menganiaya mereka seperti mereka menganiaya kami. Kami tidak mau melakukan balas dendam, kami tidak mau melakukan itu. Kami ingin bermain bersama mereka, pergi ke restoran dengan mereka, pergi ke sekolah yang sama, restoran yang sama, jalan yang sama, naik bis yang sama. Itulah yang kami lakukan."

Argumen itu berasal dari gadis manis, di sampingku. Thami namanya. Ia berasal dari etnis zulu dengan cara tutur dan pronoun kata yang unik. Ia bicara sambil mengucah permen dengan lidah dalamnya yang ditindih (piercing). Ia mungkin sekitar 18-20 tahun, tidak mampu melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Ia menjadi voluntir pada Earth Summit ini dan menjadi guide para tamu. Ia mendapatkan kehormatan untuk ikut menjadi guide tamu-tamu penting ke Soweto, kampung halaman Mandela. Saya tidak sedang diguide dia. Cuma kebetulan duduk di sampingnya. Ia mau pulang. Hari sudah sore. Afrika Selatan sebentar lagi dalam dentuman malam yang dingin. Dan Thami mungkin hendak menyanyikan sebuah lagu...Soweto...dirimu menjadi saksi, manusia adalah sesuatu yang luar biasa...

Tidak sepenuhnya "aparteid" hilang memang. Paling tidak aparteid sosial sebagai bentukan kumulatif jaman itu, masih bisa kita saksikan di sudut-sudut daerah Alexandria (yg tidak jauh dari Sandton), atau--bahkan--di tengah kota Joburg. Sementara di Kota Sandton, tempat Summit digelar, dengan jelas kita saksikan hidup yang mewah, gagah dan klimis bak para eksekutif normal.

Apapun kata hatinya, Thami masih bangga, bersemangat dan optimis menjadi warga Afrika Selatan--sesuatu yang bagi kita di Indonesia saat ini, terasa begitu luks. Hamparan beragam sengketa bagai pedih yang menusuk-nusuk. Lautan kemiskinan—kemiskinan pangan, kemiskinan rasa hormat dan saling percaya, kemiskinan harapandan kedamaian—membentuk gelombang dan siap menjadi ombak yang menyeret kita ke tepian yang makin tidak menentu. Kita kehilangan sejarah, dan sesungging senyum. Suara Thami adalah suara Afrika Selatan, sebuah negara yang berhasil melakukan transformasi masif dalam waktu yang relatif singkat.

Saya tidak tahu pemimpin dan orang macam apa yang dibutuhkan untuk sebuah dunia dan bumi yang sustainable......Mungkin kita memerlukan sosok ini sekaligus: Muhammad, Mandela, Einstein, Gandhi, Gibran, Tagore, Descartes, Hatta, Neruda, Picasso, dan sepotong nasib baik.

Mungkinkah kita, pada akhirnya, memang akan kalah? Dari Afrika kita berharap (lagi) dengan rasa optimis seperti yang diteriakkan oleh Ben Okri, novelis dan penyair Nigeria: We are the miracles that God made/To taste the bitter fruit of Time.

Afrika, kunjani. Afrika, apa kabarmu.



Joburg-Los Banos-Bogor, September 2002

No comments: