Saturday, September 29, 2007

Pulau, Layar Terkoyak


Melintas pulau dalam gelombang memanjang
Kau tak bergeming untuk segera pulang manawankan tawaran senja
Jatuh pada gemerlap laut pasir menghijau
Tak tau dimana mesti menunggu jika ada sisa waktu
Memandang bintang-bintang yang tergeletak pada bibir pantai sambil tersenyum
Memandangmu di pojok pada ujung perahu yang tak lagi memuat apa-apa
Anginpun tergolek pada daun nyiur dan turun ke jalanan kampung yang makin sepi
Terbungkus di tepian kota yang jauh dan tak lagi sudi bergumul dengan amis dan asin laut kepulauan

Begitu padamnya kerinduan untuk kembali
Seperti semuanya tiba-tiba terasa sunyi dan tifa dan debur ombak dan nyanyian
Bukan panggilan yang berarti lagi
Namun bintang tetap berkerumun di atas tanah pulau itu dan turun ke pantai
Menemani yang masih setia dalam gemuruh ombak dan angin laut
Kini bukan lagi dulu
Kejauhan adalah kucur darah yang menyakitkan
Kedekatan adalah sebuah perhitungan yang mahal
Semuanya menjadi harga
Dan aku menjualmu dengan harga yang aku mau dan kau setuju
Melintas pulau melintas pasar
Daun-daun berjatuhan, pasar berterbangan, ikan-ikan menggelepar dan bulan karam
Tanah-tanah pulau itu seperti dendam
Menunggu apalagi kalau bukan batu dari seberang
dan merubahnya menjadi beton dengan segala gemerlap yang menyertainya.

Dan kau di mana waktu itu
Diam saja
Tanpa gelombang dan kicauan
Pagi yang hilang, hari yang terlempar di pasar yang kau ributkan
Membawamu pada padang lamun di dasar lautan
Membangun istana yang tak kau huni sepenuh hati
Betapa tanah itu seperti perahumu yang dimain-mainkan ombak
Dan kau gagal mendapatkan ikan dalam jaringmu
Hanya menemukan layar yang terkoyak
Oleh angin dan badai

Selamat malam sayang
Esok dari balik jendela yang kau buka
Mungkin masih ada matahari yang melintasi
Tanahmu dan laut mimpimu


Kepulauan Padaido, Biak, April 2003

No comments: