Oleh
Dwi Rahmad Muhtaman
Bagaimanakah kita meletakkan seluruh Bali dalam 4-5 lembar tulisan? Mana mungkin? Dibutuhkan citarasa setinggi langit, ketekunan, semangat petualangan beyond imagination dan keberuntungan untuk bisa tinggal di satu sudutnya. Bali adalah sebuah sumur air yang tidak pernah kehabisan sumber kreatifitasnya. Air yang tak pernah kering. Bentuk-bentuk sosial orang Bali merupakan sebuah spektrum yang sangat variatif dan kompleks. Beberapa peneliti tentang Bali menyebut “neither simplicity nor uniformity are Balinese virtues.” Tidak mengherankan pula ketika peneliti lain takjub ketika menemukan kerumitan Bali. Lalu berujar, “the complexity of Balinese society is notorious.” Bahkan dikatakan di pulau yang satu ini, “the social organization is, in fact, heterogenous and confusing in respect to its essential aspects, and at times completely differing. We are dealing with what I would call an “ordered anarchy.” Orang Bali pun mengaku bingung tapi tetap menikmati kerumitan budayanya dengan segala improvisasi dalam aliran sungai perubahan budaya dan ritualnya. Dari desa dinas, desa adat, ribuan ritual agama, interaksi sosial melalui sekaha (misalnya sekaha subak, sekaha nelayan, sekaha taruna teruni), dan ketersediaan ruang-ruang privasi mungkin merupakan kekayaan luar biasa yang melengkapi alam Bali sebagai Rumah Sang Dewata, Puser Ing Jagad (pusat semesta alam).
Karena itu kita hanya mampu merekam satu tetes air saja dari sekian banyak yang tersedia dan bakal mengucur nanti. Katakanlah beberapa percikan di bawah ini:
Seorang aktifis ekowisata, Ida Bagus Yoga Atmaja, merasa cemas dan gemas: apakah ada yang tersisa untuk Bali dari deburan ombak pariwisata. Operator turisme di Australia mungkin akan memilihkan Qantas untuk terbang, ditawarkan pula hotel jaringan Australia, makan steak dan bir yang didatangkan khusus dari negeri itu. Selama di Bali sang turis akan menikmati kapal Bali Hai milik pengusaha Australia untuk pergi ke Nusa Lembongan dan didampingi operator diving yang dimiliki juga oleh pengusaha Australia. Apa yang tersisa? “Dengan turisme saya bisa membangun pura yang besar ini dan memberi banyak orang miskin yang membutuhkan bantuan,” begitu kata Baba, seorang guru yang disegani di wilayah Karangasem sambil menunjukkan pura besarnya yang sedang dibangun di samping Good Kharma, bungalow asri yang dikelolanya sejak sepuluh tahun silam.
Di sepanjang pantai timur Bali bertebaran perahu-perahu nelayan yang warna warni. “Dari dulu saya nelayan. Tidak mendapatkan banyak dari turisme. Kadang sekali waktu ada tamu yang memakai perahu saya satu dua jam untuk sekedar melaut. Selebihnya, dan sepanjang hidup, saya nelayan,” kata Made Putu, seorang penduduk Desa Amed, Karangasem dengan bangga. Dan juga putus asa. Ia memang nelayan dan harus menghidupi istri dan dua anaknya. Lautan makin sunyi, disergap bungalow dan tabung-tabung gelembung udara para divers. Ikan juga makin jauh. Di sekitar tepian Bali Timur ikan tak lagi menepi. Nelayan Amed biasanya mencari ikan sampai ke Nusa Penida. Paling jauh bisa sampai Lombok. Tapi itupun hasilnya tidak terlalu banyak. Sejak ada turisme sebetulnya hasilnya sebagai tambahan, ya lumayan meskipun tidak banyak karena dengan adanya organisasi nelayan maka setiap anggota akan memperoleh order secara bergilir. Pada musim puncak turis datang saja anggota mungkin akan dapat giliran kedua setelah sebulan atau dua bulan. Apalagi sekarang sudah empat bulan belum ada giliran kedua. Seperti menunggu dolphin yang tidak tentu menampakkan diri. Apalagi pantai Bali Timur termasuk daerah wisata dengan fasilitas umum yang terbatas. Jaringan internet tidak bekerja dengan baik.
Bali yang berluas 5.632,86 km2 ini pertama kali dikunjungi pelaut Eropa pada abad 16. Sir Francis Drake dalam catatan perjalanannya menyebutkan mereka singgah di pulau Bali pada 1597 untuk mengambil perbekalan dan air minum. Mereka terkesan akan kemakmuran dan keramahan masyarakat Bali, meskipun digambarkan sebagai masyarakat yang agrsif, suka mengacau, mudah tersulut dalam amuk masa dan menjarah kapal karam. Bali adalah salah satu daerah di Indonesia yang terakhir takluk oleh Belanda.
Seorang penyair ketika bertemu Kuta, menulis begini://Rasanya kita pernah bertemu, kekasih/Kau julurkan lidahmu/Aku terperangkap dalam keramaian yang asing. Seringkali keramaian ada batasnya. Seperti siang yang perlahan-lahan kita saksikan ia akan tenggelam. Juga di Amed. Keramaian tidak lagi datang di setiap pagi, malam atau siang terik. Tetapi kehidupan tokh selalu menemukan jalannya sendiri. Dalam keramaian. Atau sepi. Dalam kecemasan, atau sukacita. Nelayan tetap sigap dengan jaring-jaringnya. Pembuat garam menunggu musim penguyahan tiba. Sepanjang kiri dan kanan jalan masih tetap semarak dengan umbul-umbul sesembahan. Pura tidak kehilangan para pengunjungnya yang setia. Suara gamelan genjek atau alunan irama Bali yang lainnya juga masih bersemangat hadir dari banjar di kampung sampai kota. Anak-anak tetap berlatih menari di halaman rumah, dan sekal-kali mengisi panggung.
Gairah kebudayaan Bali memang mengagumkan. Saya menyaksikan di sebuah kampung, Banjar Semir, Umalas, Kerobokan anak-anak berlatih menari. Juga saya saksikan di ujung timur Bali, Pantai Amed dan sekitarnya kelompok genjek tampil di panggung dengan bagus. Lalu di seberang pulau Bali, Nusa Ceningan, Desa Lembongan sebuah grup gamelan gong tampil mengiringi sebuah pembukaan acara pertemuan. Ceng ceng terdengar sampai jauh. Malam harinya anak-anak tampil dengan lincah menyajikan beberapa tarian. Di seluruh Bali kita dengan mudah menemukan gairah kebudayaan semacam itu. Orang Bali juga dengan cekatan dan bangga mengenakan pakaian-pakaian adat mereka. Ini tentu saja berbeda dengan daerah lain, katakanlah Jawa yang mempunyai kemiripan budaya.
“Orang Bali memang tidak bisa memisahkan kehidupan budaya dengan ritual keagamaan. Ritual agama hampir selalu menggunakan ornamen budaya seperti musik, pakaian dan pernak-pernik artistik yang merupakan keharusan,” begitu kata Dewi dan Made Sarjana dalam sebuah percakapan. Tetapi kepraktisan ekspresi ritual dan budaya tetap dijaga. Misalnya cara mengenakan pakaian tidak serumit di Jawa dalam berkebaya dan berias. “Ini masuk akal karena kalau dengan cara kebaya Jawa maka dibutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa menaiki pura Besakih atau tiba di tempat upacara.” Dan itu sudah merupakan keseharian, untuk semua orang. Ia tidak eksklusif, tak lagi dibatasi oleh dinding keningratan. Semua orang Bali merasa menjadi Bali. Di Jawa atau daerah lain mungkin akan ganjil ada orang berpakaian adat lalu masuk restoran atau naik motor di jalanan. Di Bali itu adalah hal yang biasa. It’s a life.
Ketika Miguel Covarrubias, seorang pelaut pecinta seni berkunjung ke Bali pada 1937, ia mencatat begini: “Setiap orang di Bali nampaknya merupakan artis. Kuli dan pangeran, pendeta dan petani, laki dan perempuan pun, dapat menari, memainkan instrumen musik, melukis atau memahat kayu atau batu.” Setiap orang Bali memang seniman. Karena berkarya seni juga merupakan ritual keagamaan. Ia memperkaya dan memperindah kehidupan orang Bali dan dunianya.
Keteguhan dan ketekunan orang Bali menjaga kebudayaannya (values-in-use) dari kampung sampai ke kota itulah yang bisa menjelaskan mengapa Bali masih bisa bertahan di tengah gempuran budaya luar yang tidak pernah berhenti. Mungkin itu pulalah yang bisa menjelaskan bahwa masyarakat adat yang telah kehilangan akar budayanya akan sulit bertahan jika dipaksakan untuk kembali pada budaya yang telah rapuh dan dilupakan atau terlupakan dari ingatan kolektif.
Tapi itukah Bali kini dan nanti? Akankah Bali terjadi “de-cultured” karena turisme massa, media massa dan sistem kapitalisme modern sehingga terjadi a sense of loss and threat? Degung Santikarma dengan segenap rasa optimisnya menyatakan: “Kenyataannya budaya Bali justru menjadi makin penting dan berpotensi. Tulisan banyak dihasilkan yang semuanya banyak mendiskusikan arah kebudayaan yang harus dituju.”
Namun ia juga menyadari bahwa sebuah budaya yang telah menjadi terestetikakan, terstandarkan, distabilkan, dan dikomersialisasikan, maka ia akan menjadi lebih dari sekedar cara hidup, tetapi ia sudah merupakan sebuah sistem kontrol dan pengeksklusian/pemberi batas (a system of control and exclusion). Karena itu reformasi budaya Bali yang sesungguhnya harus mengakui kekuatan budaya dan menggunakannya ke arah sebuah redefinisi dari budaya itu sendiri—sesuatu yang dapat memberi haparan dan perjuangan atas pengalaman-pengalaman orang Bali.
Bagaimana petani, dimana petani? Selama lebih dari dua dekade ribuan hektar lahan sawah subur telah berubah menjadi jalan, toko, kompleks perumahan, hotel. Di banyak tempat di Bali, keindahannya sebetulnya adalah kreasi seni para petani: terasering yang berkelak kelok, hutan adat yang terjaga kelebatannya, anyaman-anyaman janur dan hasil karya seni adalah inspirasi yang dipungut dari petani dan pertanian. Namun nasibnya tak seindah apa yang bisa dinikmati oleh para pelancong. Tanah-tanah rakus diperjualbelikan. Tulis seorang penyair dengan pedih: //…orang-orang tanpa mata, hati, dan kepala/hanya berani meminang keindahan tanahmu/kau menari di atas tubuhnya/katakan padaku, tarian apa yang kau pahami?….//selagi daun-daun mempersiapkan kematian/berapa petak tanah kau sisakan untuk penguburan ini?
Jalan yang sepi berubah menjadi jalan yang sibuk dan macet; sungai dan saluran irigasi menjadi polusi oleh manur ayam dan babi, limbah tekstil, pestisida dan plastik. Denpasar dan menyusul kota-kota lainnya telah berubah menjadi kota yang ribut dan berisik. Kita tidak bisa lagi mendengar bisikan pasir di pantai. Bisikan dan godaan materialisme yang berlebihan akan menghancurkan Bali. Kalau tidak ada upaya mengembalikan kepada Bali yang tenang, Bali akan menjadi the loss of the last paradise.
Di lautpun kecemburuan tak bisa dihindari. //…Kita pernah bersepakat/tentang laut yang cemburu/pada warna kulitmu/melepuh terbakar matahari//
Keprihatinan-keprihatinan semacam itu banyak dijumpai di sepanjang kampung atau kalau kita ngopi di bale banjar dengan para aktifis komunitas dan tentu saja LSM. Para intelektual Bali juga sering mengungkapkan hal yang sama. Putu Setia, intelektual Bali yang tinggal di Jakarta, pernah “menggugat Bali.” Ia mengungkapkan Bali yang berubah, termasuk juga kesalahpahaman-kesalahpahaman. Ia mendorong perlunya menumbuhkan semangat menggugat yang positif. Atau kita mungkin ingat beberapa puluh tahun yang lalu Rendra membacakan kumpulan puisinya Potret Pembangunan dalam Puisi.
Di Bali:
Pantai, gunung, tempat tidur, dan pura
Telah dicemarkan
Semuanya karena kecintaan mereka pada Bali.
Sepanjang beberapa hari saya keluar masuk hotel untuk membantu pembuatan buku Travel Guide. Saya duduk di sebuah pojok. Derap roda koper-koper itu lalu. Celoteh warna kulitmu tak lagi pekak. Suara angin terdengar kini. Juga kipas dari loteng, jelas berputar dengan desing yang jernih. Matahari terasa telanjang. Pasir berbisik kembali. Ombak terdengar sampai jauh. Suara gamelan dulu, terasa nyaring kini. Mengisi ruang begitu terasa terisi sepi. Aku tahu ini sepi yang asing. Keramaian yang hilang. Pergi. Dari sudut yang jauh aku dengar Norah Jones melantunkan melodinya, lines on your face don’t bother me/down in my chair when you dance over me/I can’t help myself/I’ve got to see you again….
Ketergantungan pada turisme massa memang terasa ketika masa krisis yang datang bertubi-tubi seperti saat ini. Hotel sepi, karyawan dirumahkan dan aktifitas yang berkaitan dengan turisme ikut terhenti. Namun orang Bali masih bisa bilang sing ada apa, tidak ada apa-apa…. Puisi gelap 12 Oktober 2002 sudah pergi dalam balutan dan aliran ombak upacara penyucian sakral yang sarat simbol: Pamarisudha Karipubhaya. Hanya gelombang yang belum reda. Dan kita akan tiba di sana. Suatu tempat yang diidamkan bersama. Mencari Bali yang tersenyum kembali. Dan melihatnya lagi…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment