Saturday, September 29, 2007

Sebuah Travelogue: Afrika, Kunjani....



Oleh
Dwi R. Muhtaman

Perjalanan ke Afrika bagi sedikit orang seperti sebuah napak tilas sejarah. Kita serta merta melewati kembali jejak tiga empat abad yang lalu, abad ke-17. Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata/Kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu/Syeh Yusuf telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri/untukmu….Ada ceceran darah, bertabur, kering, dan basah. Begitulah lukisan Taufiq Ismail tentang Afrika Selatan.

Ketika itulah deru angin barat menghantam tujuh layar kapal-kapal Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC yang sombong, yang ludahnya ada di mana-mana. Di kapal itulah berderet peti-peti tulang belulang para pemberani—Ditakuti ketika memimpin pertempuran/.. /Ditakuti ketika sudah jadi tulang-belulang/.. Ya, Syeh Yusuf turun di benua selatan itu yang datang dari nusantara melewati 10 ribu kilometer melintasi dua samudra. Itulah pertautan berabad-abad lampau antara kita dan Afrika Selatan, saudara sependeritaan. Bahkan di Afrika Selatan pertautan kita sebagai manusia berujung jauh jutaan tahun yang lalu. Di situlah, tepatnya di Propinsi Gauteng, di hamparan bergelombang yang membentang seluas 47.000 hektar, terdapat sisa-sisa arkeologi yang menunjukkan perkembangan paling awal nenek dan kakek moyang keluarga manusia. Situs the Cradle of Humankind (asal manusia) yang kemudian dideklarasikan oleh UNESCO sebagai the World Heritage Site pada 1999. “We are all Africans under the skin,” kata anthropolog Christopher Stringer.

Stringer mempunyai alasan yang kuat mengapa ia memulai menulis bukunya the Evolution of Racism dari Afrika. Demikian juga PBB yang menggelar Konferensi Anti-Rasisme beberapa bulan yang lalu di Durban, Afrika Selatan. Perjalanan ke Afrika seperti membaca sejarah yang muram anak semua bangsa ketika warna kulit menjadi batas antara kesejahteraan dan penderitaan, antara menjadi manusia dan lainnya. Dan sampai pada penderitaan yang memuncak. Dan meledak. Barangkali itulah sebabnya Malcolm X bertanya-tanya kenapa sebutan “hitam” selalu dikonotasikan dengan “keburukan.” Sebutlah sesuatu apapun lalu sandingkan dengan hitam, maka ia bermakna “buruk.” Malcolm X dengan gagah berani menolak penyesatan hitam itu. Demikian juga dengan Nelson Mandela yang berjuang gigih untuk membebaskan negeri dan rakyatnya dari cengkeraman penjahat kemanusiaan. Dan ia berhasil. Kita seperti menemukan kembali berlian kasar dari dalam lumpur. Meski masih perlu jalan yang panjang untuk menggosok berlian itu untuk bisa dinikmati. Jalan sudah dibuka.

Dalam hujaman sejarah seperti itulah warga dunia mengunjungi Rio de Janeiro dari Johannesburg—dan berharap menemukan kemilau berlian bagi dunia yang lebih baik. Dan kita tahu, baru saja puluhan ribu orang berkerumun di Johannesburg yang membentang, Afrika Selatan. Mereka katanya mencoba meneguhkan komitmen Rio sepuluh tahun yg lalu dalam sebuah politik yang rumit yang disebut sebagai the World Summit on Sustainable Development (WSSD). WSSD kali ini melibatkan tujuh tematik pleno partnership, pernyataan-pernyataan dari kalangan non-pemerintah, sambutan para kepala negara dan pemerintahan dan pejabat senior, empat diskusi meja bundar tingkat tinggi tentang tema “Making It Happen,” dan event-event multistakehodlers.

Dengan berbagai dinamikanya—termasuk puluhan ribu warga madani yang mengadakan demonstrasi solidaritas, dan tindakan kasar para serdadu lokal, WSSD menegosiasikan dan mengadopsi dua dokumen penting: the Plan of Implementation (PoI) dan the Johannesburg Declaration on Sustainable Development. Dunia—tepatnya para elit pemerintahan—gagal menyepakati beberapa isu penting, dan itu sungguh menjengkelkan. Isu yang penuh dengan ketidaksepakatan misalnya berkaitan dengan target waktu untuk isu sanitasi, enerji yang terbarukan, subsidi enerji, kimia dan kesehatan, degradasi sumberdaya alam, hilangnya keanekaragaman hayati dan stok ikan; Prinsip ke-7 Rio (common but differentiated responsibility) dan ke-15 (precautionary approach); governance; perdagangan, keuangan dan globalisasi; Protokol Kyoto; dan kesehatan dan hak asasi manusia.

PoI ini didesain sebagai kerangkakerja aksi untuk melaksanakan komitmen-komitmen yang telah disetujui pada UN Conference on Environment and Development (UNCED) yang dideklarasikan pada 1992 di Rio de Janeiro dengan suka cita dan mimpi yang panjang. Sementara itu Deklarasi Johannesburg menggambarkan dari perjalanan Rio ke WSSD, menyoroti tantangan-tantangan saat ini, mengekspresikan komitmen untuk pembangunan yang lestari, dan mencatat pentingnya multilateralism dan menekankan kebutuhan untuk melaksanakan itu semua. Selebihnya, kita menyaksikan sebuah pesta yang usai tapi belumlah selesai, dan aku dengar Salif Keita menyanyikan lagu Afrika dengan beat Afrika yang lincah dan penuh improvisasi, gembira. Ia menghentakku: besok masih ada sorot matahari yang baru, angin savana yang lebih segar dan hyena lebih kencang berlari….menyongsong masa depan dari segala penjuru, dari segala kemungkinan.

Saya hanya sebuah butir pasir dalam kerumunan memasir itu. Dalam sebuah Kota Sandton yang rapi, mewah, sedikit sombong dalam kitaran pemukiman kumuh kaum hitam peninggalan Aparteid yang tak terlupakan, pesta Joburg itu di mulai--dan diakhiri dengan kegamangan: Beginikah kita melangkah? Meninggalkan bumi macam apakah kita pada generasi nanti?

Rombongan "sirkus" yang menyertai para delegasi pemerintahan (termasuk rombongan sirkusnya Megawati yang mencapai sekitar 100an orang) tengah bersiap menampilkan pertunjukkannya yang terbaik. Semua kata-kata disusun begitu rapi seperti seorang arsitektur membangun Istana Pasir. Sempurna. Cantik. Indah. Tapi sebetulnya sangat rentan terjangan bibir-bibir ombak. Para pemimpin yg berbicara di konvensi itu semua berkomitmen dan memprihatinkan bumi yang cuma satu ini. Tapi ya itulah. Kelakuan tetap saja tidak berubah.

Presiden Megawati berbicara soal pengentasan kemiskinan, sementara kemiskinan di negeri sendiri tidak diselesaikan dengan baik. Ia berbicara soal keperintahan yang baik (good governance) sementara di negerinya sendiri korupsi tidak mampu diatasi. Ia berpidato soal pelestarian lingkungan, sementara di negerinya sendiri ia tidak mampu menyelesaikan persoalan lingkungan. Dan ia mungkin tidak sendirian. Merekalah yang menjadi elite bumi, yang mengaku akan menyelamatkan bumi. Sementara puluhan ribu dan jutaan lain yang tidak menjadi bagian pesta sepuluhan tahun itu, mengerang. Sakit, tercampakkan. Menanti daun terakhir jatuh. Memandang hampa tetes air terakhir tersangkut di ozon yang menganga.

Coba saja bayangkan. Sejak tahun 1992, itu sejak hari Bumi di Rio De Janeiro, bumi kehilangan 160 juta hektar hutan global. Itu berarti setiap tahun kita kehilangan 16 juta ha global. Indonesia sendiri kehilangan 1.6 setiap tahun. Itulah para pemimpin kita, dan mungkin juga kita sendiri... Dan itu terjadi setelah para pemimpin ramai-ramai menandatangani berbagai komitmen penyelamatan bumi. Termasuk juga setelah makin banyak LSM yang berteriak dan menjadi besar.

Apakah yang tersisa? Ya, masyarakat sipil senantiasa bertarung: kita, rakyat, harus membuat sesuatu yang merubah banyak hal menjadi berbeda dan lebih baik. Namun sayangnya, kalangan masyarakat sipil terjebak pada taktik yang sama ketika ada lingkungan-lingkungan yang berubah. Atau dalam bahasa Andrew Goldstein (Time Edisi September 2, 2002) “kelompok lingkungan nampak tengah memerangi medan perang yang salah.” Ia mengkritik bahwa kelompok lingkungan kadang cenderung menghancurkan kelompok yang berpotensi untuk berinovasi dalam menciptakan produk ramah lingkungan—kalangan swasta. Alih-alih memberi rewards pada swasta yang berniat baik, mereka malah memberi disinsentif. Ini tantangan yang serius. Komunitas masyarakat sipil, termasuk LSM, nampak kehilangan daya inovasinya dalam taktik dan strategi. They seem to be fighting a losing battle.

Apa arti Afrika bagi kita selain peristiwa WSSD yang baru saja sudah. Pelajaran terbaik yang masih saya kagumi dari Afrika Selatan adalah tutur kata dari seorang gadis manis, zulu: Thami Nomathamsanga Khumalo. Ia duduk di sampingku di atas bis bertingkat yang berangkat dari Ubuntu Village, tempat satu konvensi/pameran. Kami menuju ke tempat konvensi lainnya, sekitar satu jam perjalanan bis. Diantara berbagai dialog, satu hal yang aku tanya: "Apa pandanganmu terhadap berakhirnya pemerintahan apartheid?" Ia dengan tegas dan berapi-api menjawab:"Kami tahu jaman itu amat menyakitkan bagi kami. Paman dan keluarga-keluargaku, kawan keluargaku dan tetangga keluargaku banyak yang mati dan amat menderita karena itu.”

Bis yang kami tumpangi terus melaju melewati the real downtown Joburg yang bergemuruh. Toko-toko sepanjang jalan dengan teralis besi seperti penjara. Ada aroma yang mencemaskan. Ia sangat kontras dengan Sandton. Barangkali memang masih dibutuhkan beberapa dekade untuk menghilangkan teralis: teralis fisik, sosial, dan psikologis. Thami terus melanjutkan, “Tapi kami tahu itu adalah masa lalu, sebuah sejarah yang tidak mungkin lagi dihadirkan dan dilalui lagi. Kami ingin hidup dengan normal, hidup penuh kedamaian, dengan siapapun. Kami tidak mau penderitaan kami berulang dengan mengusir orang-orang putih, atau menganiaya mereka seperti mereka menganiaya kami. Kami tidak mau melakukan balas dendam, kami tidak mau melakukan itu. Kami ingin bermain bersama mereka, pergi ke restoran dengan mereka, pergi ke sekolah yang sama, restoran yang sama, jalan yang sama, naik bis yang sama. Itulah yang kami lakukan."

Argumen itu berasal dari gadis manis, di sampingku. Thami namanya. Ia berasal dari etnis zulu dengan cara tutur dan pronoun kata yang unik. Ia bicara sambil mengucah permen dengan lidah dalamnya yang ditindih (piercing). Ia mungkin sekitar 18-20 tahun, tidak mampu melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Ia menjadi voluntir pada Earth Summit ini dan menjadi guide para tamu. Ia mendapatkan kehormatan untuk ikut menjadi guide tamu-tamu penting ke Soweto, kampung halaman Mandela. Saya tidak sedang diguide dia. Cuma kebetulan duduk di sampingnya. Ia mau pulang. Hari sudah sore. Afrika Selatan sebentar lagi dalam dentuman malam yang dingin. Dan Thami mungkin hendak menyanyikan sebuah lagu...Soweto...dirimu menjadi saksi, manusia adalah sesuatu yang luar biasa...

Tidak sepenuhnya "aparteid" hilang memang. Paling tidak aparteid sosial sebagai bentukan kumulatif jaman itu, masih bisa kita saksikan di sudut-sudut daerah Alexandria (yg tidak jauh dari Sandton), atau--bahkan--di tengah kota Joburg. Sementara di Kota Sandton, tempat Summit digelar, dengan jelas kita saksikan hidup yang mewah, gagah dan klimis bak para eksekutif normal.

Apapun kata hatinya, Thami masih bangga, bersemangat dan optimis menjadi warga Afrika Selatan--sesuatu yang bagi kita di Indonesia saat ini, terasa begitu luks. Hamparan beragam sengketa bagai pedih yang menusuk-nusuk. Lautan kemiskinan—kemiskinan pangan, kemiskinan rasa hormat dan saling percaya, kemiskinan harapandan kedamaian—membentuk gelombang dan siap menjadi ombak yang menyeret kita ke tepian yang makin tidak menentu. Kita kehilangan sejarah, dan sesungging senyum. Suara Thami adalah suara Afrika Selatan, sebuah negara yang berhasil melakukan transformasi masif dalam waktu yang relatif singkat.

Saya tidak tahu pemimpin dan orang macam apa yang dibutuhkan untuk sebuah dunia dan bumi yang sustainable......Mungkin kita memerlukan sosok ini sekaligus: Muhammad, Mandela, Einstein, Gandhi, Gibran, Tagore, Descartes, Hatta, Neruda, Picasso, dan sepotong nasib baik.

Mungkinkah kita, pada akhirnya, memang akan kalah? Dari Afrika kita berharap (lagi) dengan rasa optimis seperti yang diteriakkan oleh Ben Okri, novelis dan penyair Nigeria: We are the miracles that God made/To taste the bitter fruit of Time.

Afrika, kunjani. Afrika, apa kabarmu.



Joburg-Los Banos-Bogor, September 2002

Satumeter Persegi Yang Kita Bawa

Aku tahu begitu luas tanahtanah belantara itu, sembunyi dalam setitik
Lalu kau tersengalsengal menjelajahi, merebut dan menebas tiada henti
Menarinari nanar ke sana ke mari, tiada do’a atau mantramantri
Kau terjungkaljungkal menjejakkan kaki menegakkan hati di seluruh negeri
Aku tahu tarian nanar berjungkaljungkal itu seperti pesta untuk sebuah kota

Tinggalkan tanahtanah dan belantara sepi sendiri sudah
Tuntas dari hirukpikuk belantara
Pohon-pohon tumbang dan mengalir oleh tarikan napas sebuah kota
Dan kau tersenyum sambil menarinari
Binatang-binatang hanya memandang bintang, kapan hujan datang, kapan banjir datang
Aku tahu kapanpun maut menjemput

Dan aku juga tahu begitu luas tanahtanah dan belantara
Cuma satu meter persegi saja
Kita bawa menjemput 99 titik lainnya



2001

Terusir Ombak

Ia bangun tiap pagi
Matahari menyelinap di sekujur rumah bambunya
--dengan jagung kering menggantung di tepi atapnya
dari jendela dan nganga lubang-lubang
dari atas bukit
ia berharap hidup yang terjangkau

sementara di depannya laut laut menggelepar
mimpinya terhenti dan bergeletakan di sepanjang pantai
tak tahu dari rumahnya ia bisa terpojok nanti
karena harga yang aneh
terus menggodanya
pergi dari sini

debur ombak terdengar
mengusirnya lalu


Bunutan, 26 April 2003
Pulau, Layar Terkoyak


Melintas pulau dalam gelombang memanjang
Kau tak bergeming untuk segera pulang manawankan tawaran senja
Jatuh pada gemerlap laut pasir menghijau
Tak tau dimana mesti menunggu jika ada sisa waktu
Memandang bintang-bintang yang tergeletak pada bibir pantai sambil tersenyum
Memandangmu di pojok pada ujung perahu yang tak lagi memuat apa-apa
Anginpun tergolek pada daun nyiur dan turun ke jalanan kampung yang makin sepi
Terbungkus di tepian kota yang jauh dan tak lagi sudi bergumul dengan amis dan asin laut kepulauan

Begitu padamnya kerinduan untuk kembali
Seperti semuanya tiba-tiba terasa sunyi dan tifa dan debur ombak dan nyanyian
Bukan panggilan yang berarti lagi
Namun bintang tetap berkerumun di atas tanah pulau itu dan turun ke pantai
Menemani yang masih setia dalam gemuruh ombak dan angin laut
Kini bukan lagi dulu
Kejauhan adalah kucur darah yang menyakitkan
Kedekatan adalah sebuah perhitungan yang mahal
Semuanya menjadi harga
Dan aku menjualmu dengan harga yang aku mau dan kau setuju
Melintas pulau melintas pasar
Daun-daun berjatuhan, pasar berterbangan, ikan-ikan menggelepar dan bulan karam
Tanah-tanah pulau itu seperti dendam
Menunggu apalagi kalau bukan batu dari seberang
dan merubahnya menjadi beton dengan segala gemerlap yang menyertainya.

Dan kau di mana waktu itu
Diam saja
Tanpa gelombang dan kicauan
Pagi yang hilang, hari yang terlempar di pasar yang kau ributkan
Membawamu pada padang lamun di dasar lautan
Membangun istana yang tak kau huni sepenuh hati
Betapa tanah itu seperti perahumu yang dimain-mainkan ombak
Dan kau gagal mendapatkan ikan dalam jaringmu
Hanya menemukan layar yang terkoyak
Oleh angin dan badai

Selamat malam sayang
Esok dari balik jendela yang kau buka
Mungkin masih ada matahari yang melintasi
Tanahmu dan laut mimpimu


Kepulauan Padaido, Biak, April 2003

Orang Jawa Mencari Bali

Oleh
Dwi Rahmad Muhtaman


Bagaimanakah kita meletakkan seluruh Bali dalam 4-5 lembar tulisan? Mana mungkin? Dibutuhkan citarasa setinggi langit, ketekunan, semangat petualangan beyond imagination dan keberuntungan untuk bisa tinggal di satu sudutnya. Bali adalah sebuah sumur air yang tidak pernah kehabisan sumber kreatifitasnya. Air yang tak pernah kering. Bentuk-bentuk sosial orang Bali merupakan sebuah spektrum yang sangat variatif dan kompleks. Beberapa peneliti tentang Bali menyebut “neither simplicity nor uniformity are Balinese virtues.” Tidak mengherankan pula ketika peneliti lain takjub ketika menemukan kerumitan Bali. Lalu berujar, “the complexity of Balinese society is notorious.” Bahkan dikatakan di pulau yang satu ini, “the social organization is, in fact, heterogenous and confusing in respect to its essential aspects, and at times completely differing. We are dealing with what I would call an “ordered anarchy.” Orang Bali pun mengaku bingung tapi tetap menikmati kerumitan budayanya dengan segala improvisasi dalam aliran sungai perubahan budaya dan ritualnya. Dari desa dinas, desa adat, ribuan ritual agama, interaksi sosial melalui sekaha (misalnya sekaha subak, sekaha nelayan, sekaha taruna teruni), dan ketersediaan ruang-ruang privasi mungkin merupakan kekayaan luar biasa yang melengkapi alam Bali sebagai Rumah Sang Dewata, Puser Ing Jagad (pusat semesta alam).

Karena itu kita hanya mampu merekam satu tetes air saja dari sekian banyak yang tersedia dan bakal mengucur nanti. Katakanlah beberapa percikan di bawah ini:

Seorang aktifis ekowisata, Ida Bagus Yoga Atmaja, merasa cemas dan gemas: apakah ada yang tersisa untuk Bali dari deburan ombak pariwisata. Operator turisme di Australia mungkin akan memilihkan Qantas untuk terbang, ditawarkan pula hotel jaringan Australia, makan steak dan bir yang didatangkan khusus dari negeri itu. Selama di Bali sang turis akan menikmati kapal Bali Hai milik pengusaha Australia untuk pergi ke Nusa Lembongan dan didampingi operator diving yang dimiliki juga oleh pengusaha Australia. Apa yang tersisa? “Dengan turisme saya bisa membangun pura yang besar ini dan memberi banyak orang miskin yang membutuhkan bantuan,” begitu kata Baba, seorang guru yang disegani di wilayah Karangasem sambil menunjukkan pura besarnya yang sedang dibangun di samping Good Kharma, bungalow asri yang dikelolanya sejak sepuluh tahun silam.

Di sepanjang pantai timur Bali bertebaran perahu-perahu nelayan yang warna warni. “Dari dulu saya nelayan. Tidak mendapatkan banyak dari turisme. Kadang sekali waktu ada tamu yang memakai perahu saya satu dua jam untuk sekedar melaut. Selebihnya, dan sepanjang hidup, saya nelayan,” kata Made Putu, seorang penduduk Desa Amed, Karangasem dengan bangga. Dan juga putus asa. Ia memang nelayan dan harus menghidupi istri dan dua anaknya. Lautan makin sunyi, disergap bungalow dan tabung-tabung gelembung udara para divers. Ikan juga makin jauh. Di sekitar tepian Bali Timur ikan tak lagi menepi. Nelayan Amed biasanya mencari ikan sampai ke Nusa Penida. Paling jauh bisa sampai Lombok. Tapi itupun hasilnya tidak terlalu banyak. Sejak ada turisme sebetulnya hasilnya sebagai tambahan, ya lumayan meskipun tidak banyak karena dengan adanya organisasi nelayan maka setiap anggota akan memperoleh order secara bergilir. Pada musim puncak turis datang saja anggota mungkin akan dapat giliran kedua setelah sebulan atau dua bulan. Apalagi sekarang sudah empat bulan belum ada giliran kedua. Seperti menunggu dolphin yang tidak tentu menampakkan diri. Apalagi pantai Bali Timur termasuk daerah wisata dengan fasilitas umum yang terbatas. Jaringan internet tidak bekerja dengan baik.

Bali yang berluas 5.632,86 km2 ini pertama kali dikunjungi pelaut Eropa pada abad 16. Sir Francis Drake dalam catatan perjalanannya menyebutkan mereka singgah di pulau Bali pada 1597 untuk mengambil perbekalan dan air minum. Mereka terkesan akan kemakmuran dan keramahan masyarakat Bali, meskipun digambarkan sebagai masyarakat yang agrsif, suka mengacau, mudah tersulut dalam amuk masa dan menjarah kapal karam. Bali adalah salah satu daerah di Indonesia yang terakhir takluk oleh Belanda.

Seorang penyair ketika bertemu Kuta, menulis begini://Rasanya kita pernah bertemu, kekasih/Kau julurkan lidahmu/Aku terperangkap dalam keramaian yang asing. Seringkali keramaian ada batasnya. Seperti siang yang perlahan-lahan kita saksikan ia akan tenggelam. Juga di Amed. Keramaian tidak lagi datang di setiap pagi, malam atau siang terik. Tetapi kehidupan tokh selalu menemukan jalannya sendiri. Dalam keramaian. Atau sepi. Dalam kecemasan, atau sukacita. Nelayan tetap sigap dengan jaring-jaringnya. Pembuat garam menunggu musim penguyahan tiba. Sepanjang kiri dan kanan jalan masih tetap semarak dengan umbul-umbul sesembahan. Pura tidak kehilangan para pengunjungnya yang setia. Suara gamelan genjek atau alunan irama Bali yang lainnya juga masih bersemangat hadir dari banjar di kampung sampai kota. Anak-anak tetap berlatih menari di halaman rumah, dan sekal-kali mengisi panggung.

Gairah kebudayaan Bali memang mengagumkan. Saya menyaksikan di sebuah kampung, Banjar Semir, Umalas, Kerobokan anak-anak berlatih menari. Juga saya saksikan di ujung timur Bali, Pantai Amed dan sekitarnya kelompok genjek tampil di panggung dengan bagus. Lalu di seberang pulau Bali, Nusa Ceningan, Desa Lembongan sebuah grup gamelan gong tampil mengiringi sebuah pembukaan acara pertemuan. Ceng ceng terdengar sampai jauh. Malam harinya anak-anak tampil dengan lincah menyajikan beberapa tarian. Di seluruh Bali kita dengan mudah menemukan gairah kebudayaan semacam itu. Orang Bali juga dengan cekatan dan bangga mengenakan pakaian-pakaian adat mereka. Ini tentu saja berbeda dengan daerah lain, katakanlah Jawa yang mempunyai kemiripan budaya.

“Orang Bali memang tidak bisa memisahkan kehidupan budaya dengan ritual keagamaan. Ritual agama hampir selalu menggunakan ornamen budaya seperti musik, pakaian dan pernak-pernik artistik yang merupakan keharusan,” begitu kata Dewi dan Made Sarjana dalam sebuah percakapan. Tetapi kepraktisan ekspresi ritual dan budaya tetap dijaga. Misalnya cara mengenakan pakaian tidak serumit di Jawa dalam berkebaya dan berias. “Ini masuk akal karena kalau dengan cara kebaya Jawa maka dibutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa menaiki pura Besakih atau tiba di tempat upacara.” Dan itu sudah merupakan keseharian, untuk semua orang. Ia tidak eksklusif, tak lagi dibatasi oleh dinding keningratan. Semua orang Bali merasa menjadi Bali. Di Jawa atau daerah lain mungkin akan ganjil ada orang berpakaian adat lalu masuk restoran atau naik motor di jalanan. Di Bali itu adalah hal yang biasa. It’s a life.

Ketika Miguel Covarrubias, seorang pelaut pecinta seni berkunjung ke Bali pada 1937, ia mencatat begini: “Setiap orang di Bali nampaknya merupakan artis. Kuli dan pangeran, pendeta dan petani, laki dan perempuan pun, dapat menari, memainkan instrumen musik, melukis atau memahat kayu atau batu.” Setiap orang Bali memang seniman. Karena berkarya seni juga merupakan ritual keagamaan. Ia memperkaya dan memperindah kehidupan orang Bali dan dunianya.

Keteguhan dan ketekunan orang Bali menjaga kebudayaannya (values-in-use) dari kampung sampai ke kota itulah yang bisa menjelaskan mengapa Bali masih bisa bertahan di tengah gempuran budaya luar yang tidak pernah berhenti. Mungkin itu pulalah yang bisa menjelaskan bahwa masyarakat adat yang telah kehilangan akar budayanya akan sulit bertahan jika dipaksakan untuk kembali pada budaya yang telah rapuh dan dilupakan atau terlupakan dari ingatan kolektif.

Tapi itukah Bali kini dan nanti? Akankah Bali terjadi “de-cultured” karena turisme massa, media massa dan sistem kapitalisme modern sehingga terjadi a sense of loss and threat? Degung Santikarma dengan segenap rasa optimisnya menyatakan: “Kenyataannya budaya Bali justru menjadi makin penting dan berpotensi. Tulisan banyak dihasilkan yang semuanya banyak mendiskusikan arah kebudayaan yang harus dituju.”

Namun ia juga menyadari bahwa sebuah budaya yang telah menjadi terestetikakan, terstandarkan, distabilkan, dan dikomersialisasikan, maka ia akan menjadi lebih dari sekedar cara hidup, tetapi ia sudah merupakan sebuah sistem kontrol dan pengeksklusian/pemberi batas (a system of control and exclusion). Karena itu reformasi budaya Bali yang sesungguhnya harus mengakui kekuatan budaya dan menggunakannya ke arah sebuah redefinisi dari budaya itu sendiri—sesuatu yang dapat memberi haparan dan perjuangan atas pengalaman-pengalaman orang Bali.

Bagaimana petani, dimana petani? Selama lebih dari dua dekade ribuan hektar lahan sawah subur telah berubah menjadi jalan, toko, kompleks perumahan, hotel. Di banyak tempat di Bali, keindahannya sebetulnya adalah kreasi seni para petani: terasering yang berkelak kelok, hutan adat yang terjaga kelebatannya, anyaman-anyaman janur dan hasil karya seni adalah inspirasi yang dipungut dari petani dan pertanian. Namun nasibnya tak seindah apa yang bisa dinikmati oleh para pelancong. Tanah-tanah rakus diperjualbelikan. Tulis seorang penyair dengan pedih: //…orang-orang tanpa mata, hati, dan kepala/hanya berani meminang keindahan tanahmu/kau menari di atas tubuhnya/katakan padaku, tarian apa yang kau pahami?….//selagi daun-daun mempersiapkan kematian/berapa petak tanah kau sisakan untuk penguburan ini?

Jalan yang sepi berubah menjadi jalan yang sibuk dan macet; sungai dan saluran irigasi menjadi polusi oleh manur ayam dan babi, limbah tekstil, pestisida dan plastik. Denpasar dan menyusul kota-kota lainnya telah berubah menjadi kota yang ribut dan berisik. Kita tidak bisa lagi mendengar bisikan pasir di pantai. Bisikan dan godaan materialisme yang berlebihan akan menghancurkan Bali. Kalau tidak ada upaya mengembalikan kepada Bali yang tenang, Bali akan menjadi the loss of the last paradise.

Di lautpun kecemburuan tak bisa dihindari. //…Kita pernah bersepakat/tentang laut yang cemburu/pada warna kulitmu/melepuh terbakar matahari//

Keprihatinan-keprihatinan semacam itu banyak dijumpai di sepanjang kampung atau kalau kita ngopi di bale banjar dengan para aktifis komunitas dan tentu saja LSM. Para intelektual Bali juga sering mengungkapkan hal yang sama. Putu Setia, intelektual Bali yang tinggal di Jakarta, pernah “menggugat Bali.” Ia mengungkapkan Bali yang berubah, termasuk juga kesalahpahaman-kesalahpahaman. Ia mendorong perlunya menumbuhkan semangat menggugat yang positif. Atau kita mungkin ingat beberapa puluh tahun yang lalu Rendra membacakan kumpulan puisinya Potret Pembangunan dalam Puisi.

Di Bali:
Pantai, gunung, tempat tidur, dan pura
Telah dicemarkan

Semuanya karena kecintaan mereka pada Bali.

Sepanjang beberapa hari saya keluar masuk hotel untuk membantu pembuatan buku Travel Guide. Saya duduk di sebuah pojok. Derap roda koper-koper itu lalu. Celoteh warna kulitmu tak lagi pekak. Suara angin terdengar kini. Juga kipas dari loteng, jelas berputar dengan desing yang jernih. Matahari terasa telanjang. Pasir berbisik kembali. Ombak terdengar sampai jauh. Suara gamelan dulu, terasa nyaring kini. Mengisi ruang begitu terasa terisi sepi. Aku tahu ini sepi yang asing. Keramaian yang hilang. Pergi. Dari sudut yang jauh aku dengar Norah Jones melantunkan melodinya, lines on your face don’t bother me/down in my chair when you dance over me/I can’t help myself/I’ve got to see you again….

Ketergantungan pada turisme massa memang terasa ketika masa krisis yang datang bertubi-tubi seperti saat ini. Hotel sepi, karyawan dirumahkan dan aktifitas yang berkaitan dengan turisme ikut terhenti. Namun orang Bali masih bisa bilang sing ada apa, tidak ada apa-apa…. Puisi gelap 12 Oktober 2002 sudah pergi dalam balutan dan aliran ombak upacara penyucian sakral yang sarat simbol: Pamarisudha Karipubhaya. Hanya gelombang yang belum reda. Dan kita akan tiba di sana. Suatu tempat yang diidamkan bersama. Mencari Bali yang tersenyum kembali. Dan melihatnya lagi…