Thursday, October 30, 2008

Dari Balik Rerumputan

Tiba-tiba adalah kejauhan
Mataku terlempar pada semua hamparan
Bukit, padang ilalang
Langit
Udara dingin pegunungan

Meliak liuk peta sebuah jalan
Dihadang bukit yang tak berkesudahan
Satu dua rumah di ujung bukit
Membentang kampung halaman yang panjang
Dan kisah yang tak terbayangkan

…..


Goroka, PNG, 23 July 2006
Nyanyian gelombang bukit membentur sunyi

Seperti ombak
Bergelombang bergulung gulung
Perahu seperti tenggelam dibalik buih buih
Juga sebutir papua new guinea
Hitam dan hilang dalam gelombang
Bukit-bukit membentuk lautan
Pada ujung
Pada sebaliknya
Nyanyian sunyi yang sembunyi
Gemuruh yang sepi
Gelisah yang menanti

Di ujung bukit yang nampak telanjang
Dengan susah payah mereka berkemas
Menampakkan rapi seperti yang dijajakan
Dimana-mana
Tetapi di sini, di balik lautan bukit ini
Segalanya berbeda
Atap pit pit, dinding anyaman bambu
Melingkap meningkap menyungkup
Membatasi dunia

Kau termangu
Di bawah matahari di ujung pintu
Dan malam yang merayap dari semua rerumputan
Dimanakah rumahku?

Sepi seperti dulu
Orang-orang berebut keramaian
Aku tak mampu berpaling dan menutup pintu
Tetapi dari balik rerumputan
Diantara lautan bukit dan buih buih
Tempatku kini tak mau pergi
Membentur sunyi



Goroka, PNG, 23 July 2006

Sajak-sajak

Debur buta membatu

Ketika aku buka catatanku
Angin laut malam meloncat riang
Mengikuti gelombang
Bergerak mengusap kulitmu dan kening manismu
Kilau lampu temaram memercik mencari wajahmu
Melempar senyum dan tawa
Diantara alunan gembira
Malam yang selalu setia
Mengisi semua bait-bait dan cerita
Suaramu…

Kau menghadirkan suara ombak
Seperti sebuah dansa dan flamenco
Malam bagai tarian kecak, ribut berarak
Kau perlahan menutup cakrawala membawa bintang bintang
Dan butiran pasir dan debur laut
Yang hinggap tak terduga
Di mukaku dan lembar-lembar catatanku

Ketika aku buka catatanku
Debur ombak Jimbaran, hempas angin Kuta
buta membatu
lidah gelombang menghisap noda merah
dan logam seperti mesiu
sejenak gelap turun mengiringi dentuman
dan keramaian yang berserak
duka menelan semuanya, seperti jarak
seperti kedalaman laut, seperti batasnya waktu.
Suaramu ditelan debur ombak di udara
berserakan

Tak tau siapa yang memulai semua ini
Padamu semuanya tenggelam.
Melipat malam, menghalau bintang, membekap debur ombak
Membekukan desir angin laut
Membawamu pergi

debur ombak melilit tepi-tepi meja dan kursi
membawa pergi bekas-bekas dukanya
ke lautan lepas
tanpa batas
berharap tak kan kembali, seperti waktu

aku tetap berjalan,
seperti waktu
tetap mengingat pada malam itu
pada sebuah catatan
di tepi pantaimu
dan malam yang berubah

Oktober 2005
Kaum Muda di Gedung Tua

Di pelataran gedung tua
Angin malam lewat gempita
Di depan jalan raya ramai seperti biasa
Pada tepian-tepian orang mengais ngais kemana-mana
Suara lantang dari sorot yang redup di gedung parlemen
Sibuk berebut kata-kata untuk tahta
Televisi malam sibuk dengan cerita merengek-rengek
Dan nyanyi ngak ngek ngok
Di hamparan pelataran lebar pekan raya jakarta
Sang presiden sibuk meluncurkan album nyanyi ngak ngik ngoknya
Dalam sorot lampu dan kamera yang ramai

Di pelataran gedung tua
Langit tampak bintang menyala
Menjadi matahari kecil malam
Menembus jiwa-jiwa dengan tangan mengepal
Kaum muda yang benderangi malam dengan obor
Meniti jalan yang serabutan gurita pekat hitam
Menyuarakan gelora diantara bunyi yang memekakkan
Mengucapkan kata demi kata ikrar kaum muda
Jadi pandu baru masa yang baru
Meretas jalan yang tak pernah dilalui
Menembus lautan yang tak pernah dilayari
Melangkahkan jejak pada titian yang tak pernah dilewati

Dari pelataran gedung tua itu
Kita berjanji
Membawa panji-panji memimpin ibu pertiwi
Dan melupakan ngak ngek ngok di televisi
Atau sinetron yang merengek-rengek setengah mati
Mengubur keluh kesah dan desing kata mengiris menyerah
Melupakan sesal sejarah
Dengan matahari dalam genggaman kanan
Dengan debur ombak dalam genggaman kiri
Kita melangkah

Di pelataran gedung tua itu
Kaum muda berkata dengan kepal di udara
Saatnya kaum muda memimpin


Bogor, 28 Oktober 2007