Ia mencintai buku dan menulis apa saja dari pikiran seberang.
Suratnya selalu bergelora mengikuti deras kali dari taman hidup
Dan ia melanjutkan:
Lalu kau tiba-tiba terbangun. Menjadi kanak-kanak lagi.
Mengisi hayal yang tertiup angin
Mencoba bertahan, merebutnya
Lalu terduduk di tanah yang sama
Pergi membasuh muka
Menyegarkan luka yang tercabik segala dusta
Terhuyung. Bangun lagi ke dunianya sendiri
apel yang dipetiknya. Dunia yang berbaris, melingkar, terputus, penuh arsir
: mengekang, katanya.
Tak kuasa menolak. Ia masih bersyukur
Tidak tercampak. Tertendang dan mengucur tangis sesal diri.
Luka adalah waktu yang membeku. Tidaklah sakit benar mengaduh.
Hanya giliran yang harus dilewati.
menjemput diri sendiri dari serakan debu-debu
Ia tetap sebuah matahari. Dan kini menepi. Menemui panggilan sunyi dan menimbang panen dari sebidang jalan yang telah dilalui
Dipandangi selalu langit-langit kamar sewaannya. Asing menyelinap dari lorong buta
Ia telah pergi sendiri ke kamar itu
Meninggalkan semua yang dimilikinya—sesuatu yang membantu subur dirinya, sesubur kumisnya, membentang bagai laut hitam dari samudra baru
Mengingat itu, mengingat haru: kasih ibunya yang terhampar dalam lautan ungu
; bapak yang selalu ingat lonceng berbunyi di sekolah, tekun menunggu kuning padi sepanjang waktu
; adik-adiknya yang lucu dan tumbuh bahu demi bahu, dan kakaknya mengembara pada jalan batu
; pohon-pohon mangga dan angin-angin yang berseru
; dan udara pada musim yang berdebu
; teman laki-lakinya yang kocak, jenaka akrab—menjengkelkannya selalu
Ia tidaklah kolokan sekarang
kalau hanya merindukan jejak yang tidaklah kabur
hanya mengurai betapa manisnya sisi di belakang punggungnya
Ia kadang bimbang
pada dirinya sendiri
merasa asing
dan mencoba melupakan
menjelma seperti A, B, C dan sederet kata-kata semu
dia mulai banyak menimbang
ragu memantul-mantul ke dalam
Padahal betapa semua kawan mencintai
Apa adanya. Langit yang terbuka
No comments:
Post a Comment